BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sesuai dengan kodrat
yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan sebagai individu dan
mahkluk sosial. Sebagai individu, manusia diciptakan dengan mempunyai ciri yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, manusia atau
individu dapat dikenali oleh orang lain dengan mengenal ciri ciri tertentu yang
dimilikinya.
Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan
sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu
bisa berupa benda¬-benda (artifak), peraturan dan nilai nilai yang dipakai
secara kolektif. Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat
tersebut menciptakan suatu ben¬tuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang
dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh
masyarakat lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya akan dapat dipakai
sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat tertentu (Goldenweiser, 1963;
Vontress, 2002).[1]
Oleh
sebab itu didalam konseling lintas agama dan budaya terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi yang harus diketahui baik oleh konselor maupun klien agar
konseling dapat berjalan dengan lancar.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
saja faktor yang mempengaruhi Konseling Lintas Agama dan Budaya?
2. Apa
saja faktor yang terkait dengan Konselor?
3. Apa
saja faktor yang terkait dengan Klien?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi Konseling Lintas Agama dan Budaya.
2. Untuk
mengetahui apa saja faktor yang terkait dengan Konselor.
3. Untuk
mengetahui apa saja faktor yang terkait dengan Klien.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Faktor
yang Mempengaruhi Konseling Lintas Agama dan Budaya
1.
Persepsi
Persepsi/per·sep·si/ /persépsi/ n : tanggapan
(penerimaan) langsung dari sesuatu, proses seseorang mengetahui beberapa hal
melalui pancaindranya.[2]
Adanya perbedaan persepsi budaya/agama , jika tidak disikapi dengan
bijaksana, dapat berubah menjadi konflik, yang merugikan kedua pihak. Kemampuan
seorang konselor dalam memahami persepsi budaya/agama yang berbeda menjadi
penentu keberhasilan sebuah proses Konseling Lintas Agama dan Budaya.
2.
Emosi
Emosi/emo·si/ /émosi/ n : luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat. Keadaan
dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan,
kecintaan).[3]
Emosi
menurut Wade dan Tavris (2007) adalah situasi stimulus yang melibatkan
perubahan pada tubuh dan wajah, aktivitas pada otak, penilaian kognitif,
perasaan subjektif, dan kecendrungan melakukan suatu tindakan yang dibentuk
seluruhnya oleh peraturan-peraturan yang terdapat di suatu kebudayaan.
Menurut
The American College Dictionary, (H. Djali, 2007) emosi adalah suatu keadaan
afektif yag disadari dimana dialami perasaan seperti kegembiraan (joy), kesedihan,
takut, benci, dan cinta (Dibedakan dari keadaan kognitif dan keinginan yang
disadari), dan juga perasaan seperti kegembiraan (joy), kesedihan, taku, benci,
dan cinta.
Sebenarnya
banyak emosi spesifik, akan tetapi permasalahan emosi yang sering dijumpai
dalam konseling adalah empat emosi dasar yaitu:
a.
Sakit Hati (Hurt)
Rasa sakit hati (Hurt) adalah pengalaman yang dialami seseorang ketika
terluka secara psikologis yang mengakibatkan gangguan mental, sehingga
menimbulkan berbagai konflik dan rasa marah. Dalam proses konseling konselor
dapat membantu klien untuk memberikan reaksi konstruktif terhadap rasa sakit
hati dalam cara-cara pertumbuhan yang produktif. Hal itu dapat dilakukan dengan
empat tahap yaitu: (1)Mengakui diri sakit hati, (2)Mencoba mencari arti dari
rasa sakit hati itu, (3)Mencari serta menemukan penyebab sakit hati itu
sendiri, (4)Melakukan upaya untuk menghindari perasaan sakit agar tidak terjadi
di masa yang akan datang.
Konselor dapat mengajarkan tahapan-tahapan itu baik secara langsung maupun
tidak langsung. Secara langsung konselor menuntun klien melampaui
tahapan-tahapan sambil memberikan penjelasan serta alasan pentingnya hal itu.
Secara tidak langsung konselor dapat melakukannya melalui penciptaan situasi
konseling yang kondusif, sehingga klien senantiasa memperoleh kebahagiaan.
b.
Takut
(Fear)
Rasa takut timbul dari antisipasi terhadap ancaman fisik atau psikologis
spesifik. Ancaman psikologis merupakan sumber utama timbulnya rasa takut yang
dibawa pada umumnya oleh klien ke dalam konseling.
Karena psikis seseorang memiliki sisi yang luas dalam upayanya untuk
mempertahankan diri, maka manusia terbuka terhadap banyak ancaman, dan pada
gilirannya akan mengalami bnayak takut. Ada empat ketakutan yang sering dibawa
klien dalam proses konseling, yaitu: Takut terhadap keakraban, Takut terhadap
penolakan, Takut terhadap kegagalan, Takut terhadap kebahagiaan
c.
Marah
(Anger)
Banyak orang yang telah diajarkan bahwa marah itu merupakan suatu emosi
negative, sehingga berusaha untuk menghapus atau menghindarinya. Tugas konselor ialah membantu klien agar
kemarahan itu menjadi lebih realistis dan mampu menyatakan marah dengan cara yang
mengarah pada tindakan positif.
Marah disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama terjadi saat adanya
halangan dalam mencapai pemuasan suatu kebutuhan, dan kedua, terjadi
ketika dalam proses pemenuhan kebutuhannya mendapat hambatan dari dirinya
sendiri. Yang pertama kemudian berkembang menjadi bentuk marah kepada pihak
lain, dan yang kedua menjadi marah pada diri sendiri. Tujuan marah
pada pihak lain adalah menggerakkan individu memindahkan hambatan dalam
pemenuhan kebutuhan, atau memindahkan orang dari situasi di mana kebutuhan
tidak terpenuhi.
Konselor harus dapat megenali perbedaan kedua jenis kemarahan tersebut,
agar dapat membantu klien dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan marah.
Ada beberapa manisfestasi marah terhadap diri sendiri dalam cara-cara
deskruktif, yaitu: Depresi, Adiksi, Salah tempat dan orang, Perilaku
serampangan, Pengorbanan, Canggung atau kikuk, Manisfestasi fisik, Degradasi
perilaku.
Seperti halnya marah terhadap diri sendiri, marah terhadap pihak lain dapat
dimansifestasikan dengan cara-cara deskruktif sebagai berikut: Moralism,
Hostile Talk (Sindiran), Shutting Down (menjatuhkan orang lain,
Purposeful Ineptness (ecanggungan bertujuan), Victimizing (membuat
korban), Ambushing (penyerangan), Passivity (bersikap pasif), Getting
Sick (menjadi sakit).
d.
Rasa
Bersalah
Rasa bersalah adalah perasaan tidak nyaman/gundah atau malu pada saat
seseorang melakukan kesalahan, keburukan, atau amoral. Konselor harus dapat
membantu klien apabila merasakan rasa bersalah dan membantu mereka apakah rasa
bersalah itu benar atau salah, kemudian menemukan cara yang tepat untuk
menghindari masalah yang timbul. Konselor
juga harus memahami adanya tiga macam rasa bersalah yaitu: (1)Rasa bersalah
psikologis, (2)Rasa bersalah social, (3)Rasa bersalah religi
Hal penting bagi konselor adalah mengetahui perbedaan dari ketiga tipe rasa
bersalah itu untuk membantu klien memecahkan masalah rasa bersalah. Rasa
bersalah dapat terjadi secara sadar maupun tak sadar. Rasa bersalah yang tidak
disadari mengakibatkan munculnya perilaku menghukum diri sendiri sebagai jalan
untuk bertobat karena rasa bersalah tersebut. Dalam beberapa hal beberapa
perilaku lebih bnayak dimotivasi oleh rasa bersalah yang tidak disadari,
seperti berikut:
1)
Pendirian
bahwa ada sesuatu yang salah dalam diri sendiri dan keragu-raguan.
2)
Menciptakan
ketidak-puasan
3)
Psikosomatis
atau gejala hipokondria
4)
Doronga
kebutuhan yang berlebihan, dsb.[4]
3.
Kesadaran
budaya
Hal
yang sangat kompeten dalam komunikasi interkultural adalah pemahaman individu
terhadap kebiasaan sosial (social customs)
dan sistem sosial (social system)
pada sekumpulan besar budaya (host
cultural). Memahami bagaimana seseorang memikirkan dan berkelakuan tang
esensiil (essential) untuk komunikasi
yang efektif dengan mereka.
Rintangan-rintangan
komunikasi (comunication barriers)
interkultural menurut LaRay M. Barna (1997), menunjukan ada enam rintangan
komunikasi interkultural, yaitu
a. Kecemasan
(anxiety)
Penghalang
yang pertama adalah kecemasan yang tinggi. Ketika seseorang cemas karena tidak
mengetahui apa yang harus dilakukan, kondisi semacam ini akan menghalangi
seseorang dalam melakukan komunikasi
interkultural. Seperti misalnya, seseorang mungkin akan mengalami kecemasan
ketika memasuki kampus yang asingbaginya, atau pekerjaanyang asing baginya.
Dalam kondisi cemas seperti ini seseorang mungkin akan berbuat kesalahan karena
terlalu memusatkan perhatian agar tidak berbuat kesalahan, sehingga tampak
canggung.
b. Menganggap
sama terhadap hal yang sebenarnya berbeda (assuming
similarity instead of difference)
Rintangan
yang kedua adalah menganggap sama terhadap hal yang sebenarnya berbeda. Jika
seseorang yang pernah pindah dari suatu perguruan tinggi ke yang lain, mungkin
mengalami rintangan ini. Pada perguruan tinggi pertama sebagai contoh,
pendaftaran dilakukan dengan cara tertentu. Sedangkan pada perguruan tinggi
lain dilakukan dengan cara yang lain pula. Oleh sebab itu anggapan yang sama
dalam melakukan pendaftaran akan menyebabkan seseorang menjadi cemas dan
melakukan kesalahan atau memerlukan banyak waktu ekstra, demikian pula dalam
hal budaya, ketika seseorang mengasumsikan persamaan interkultural padahal
sebenarnya kultur itu berbeda, mka mereka sebenarnya telah terjebak pada
tingkatan tidak memperhatikan perbedaan.
c. Etnosentrisme (ethnocentrism)
Rintangan yang ketiga bagi komunikasi interkultural yang
efektif adalah etnosentris, yaitu secara negatif menghakimi bagian-bagian dari
kultur lain dengan standar kultur diri sendiri. Sikap atau perilaku etnosentris
timbul karena seseorang terlalu percaya akan keunggulan kultur diri sendiri dan
memandang rendah kultur bentuk lain yang sedikit lebih ekstrim dari etnosentris
ditandai dengan label “nearsighatedness” budaya, yaitu mengira kultur diri sendiri
menjadi induk yang diwarisi oleh kultur lain. Nearsighatedness budaya sering mengakibatkan seseorang membuat
asumsi bahwa pemikiran yanng sederhana adalah sama dengan segala sesuatu
dimana-mana. Sebagai contoh “eurocentric
etnocentris”, seseorang hanya mengenali liburan barat disekolah yang
mendasarkan kurikulum hanya pada sejarah barat, musik, dan seni. Istilah
“Barat” dan “Timur” telah diberi label eurocen
etnocentris. Asia adalah timur Eropa, tetapi untuk Asia “Timur”
identitasnya tergatung pada Eropa.
Etnocentris ekstrim bisa berdampak negatif berupa
mendorong seseorang ke arah penolakan kesempurnaan dan pengetahuan yang
bersumber dari budaya lain. Hal itu bisa menyebabkan terhalangnya komunikasi
dan merintangi pertukaran gagasan dan ketrampilan atar individu. Oleh sebab itu
setiap individu yang cenderung bersikap etnocentris akan memiliki kecenderungan
untuk menolak dan membatasi titip.
d.
Stereotip dan
prasangka (stereotypes and prejudice)
Stereotip dan prasangka adalah suatu dinding penghalang
bagi komunikasi interkultural. Istilah stereotip perluasan istilah yang umum
digunakan untuk mengacu pada judgement negatif atau positif yang dibuat dan
ditunjukan kepada individu-individu didasarkan pada beberapa pengamatan atau
keyakinan anggota kelompok, dimana prasangka bekenaan dengan kebencian atau
kecurigaan yang irasional terhadap suatu kelompok, ras, agama atau, orientasi
seks. Istilah-istilah tersebut terkait dengan pembuatan judgement tentang
individu-individu didasarkaan atas anggota kelompok.[5]
B.
Faktor yang Terkait dengan Konselor
1.
Faktor kesadaran
a.
Kesadaran diri (inter/intra personal).
b.
Kesadaran akan budaya/agamanya sendiri,
c.
kesadaran akan adanya pengaruh kelas sosial (kaya/miskin) dalam
masyarakat.
d.
Kesadaran akan adanya perbedaan sikap dan prilaku individu,
e.
kesadaran akan adanya kelompok budaya
f.
Kesadaran akan keanekaragaman.
2.
Faktor
Empati/Budaya
Empati budaya/agama: kemampuan
seorang konselor untuk memahami permasalahan klien, dari sudut pandang:
a. Latar belakang budaya/agamanya,
b. Peka terhadap perasaannya,
c. Kondisi psikologisnya.
3.
Faktor Toleransi
Bagaimana seorang konselor bisa
memahami berbagai perbedaan yang ada antara dia dengan klien, karena perbedaan
itu bisa menjadi energi positif yang tak ternilai.
C.
Faktor yang
Terkait dengan Klien
1.
Pemahaman dan keyakinan terhadap agama akan berpengaruh terhadap perilaku klien.
2.
Pemahaman terhadap budaya akan berpengaruh terhadap
perilakunya sehingga menentukan ciri
khasnya sebagai individu yang berbeda dengan konselor.
3.
Pengaruh dari meningkatnya pemahaman terhadap agama
dan budaya akan semakin meningkatnya saling toleransi, menghargai dan menerima
diantara perbedaan individu.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
pembahasan diatas, kami dapat mengambil kesimpulan bahwa secara umum faktor
yang mempengaruhi proses konseling lintas agama dan budaya dapat dibedakan
menjadi 3, yaitu : persepsi, emosi dan kesadaran budaya. Persepsi adalah proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya. Emosi
adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat. Dan
kesadaran budaya adalah menyadari akan keberagaman budaya yang ada di
lingkungan tempat hidup klien maupun konselor.
B.
Saran
Dengan adanya faktor sebagai pemacu proses konseling,
bukan berarti itu dijadikan sebagai alasan konselor untuk tidak dapat menangani
masalah klien. Namun dijadikan sebagai wawasan tambahan konselor agar proses
konseling berjalan dengan lancar. Untuk itu kami membuat makalah ini dengan
harapan dapat digunakan oleh konselor untuk memahami lebih jauh tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi konseling lintas agama dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Adhipura, Anak Agung Ngurah. 2013. Konseling Lintas
Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
http://irsyadbki.wordpress/ Diakses pada Kamis, 17 Maret 2016 pukul 12.15 WIB.
http://kbbi.web.id/persepsi/
Diakses pada Kamis 17 Maret 2016 pukul 12.15 WIB.
http://kbbi.web.id/emosi/
Diakses pada Kamis 17 Maret 2016 pukul 12.15 WIB.
http://netpro20.blogspot.co.id/2011/02/emosi-dalam-konseling.html/
Diakses pada Kamis, 17 Maret 2016 pukul 12.15 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar